Iis Soekandar: Resensi : Bulan Nararya

Rabu, 21 Oktober 2015

Resensi : Bulan Nararya



Bulan Penuh Kejutan


Judul buku                  : Bulan Nararya
Penulis                       : Sinta Yudisia
Penyunting bahasa   : Mastris Radyamas
Penerbit                     : Indiva Media Kreasi
Ketebalan                  : 256 halaman
Ukuran                        : 19 cm
ISBN                           : 978-602-1614-33-4
Cetakan I                    : September, 2014
Harga                         : Rp 46.000,00

       Novel ini bercerita tentang seorang terapis bernama Rara. Dia bekerja di sebuah klinik kesehatan. Tepatnya klinik kesehatan khusus penderita gangguan jiwa yang dalam bahasa ilmiahnya, skizophrenia. Berbeda dengan pengobatan pada umumnya termasuk di mental health center milik Bu Sausan sekaligus atasan tempatnya mengabdi, yaitu farmakologi, Rara menawarkan metode transpersonal yang lebih humanis. Transpersonal mengaitkan orang-orang terdekat, agama, serta budaya setempat untuk penyembuhan pasien. Dibanding farmakologi yang membuat pasien cenderung kecanduan obat. Karena memakan waktu antara sepuluh hingga lima belas tahun, tentu ditolak tegas atasannya. Begitupun rekan kerja sekaligus sahabatnya, Moza.
       Namun Rara tidak patah semangat. Ia tetap mengabdikan tenaga dan pikirannya pada klinik seorang wanita yang pernah menjadi dosennya itu. Sengaja atau tidak, sebetulnya dia telah melibatkan orang-orang terdekat atau anggota keluarga untuk pemulihan jiwa pasien. Terlihat ketika menangani Yudhistira. Lelaki muda itu hampir bercerai dengan istrinya, Diana, karena keluarga besarnya, mama dan saudara-saudara kandung, ikut campur urusan rumah tangganya. Mereka menuduh Diana terlalu menguasai lelaki hingga menolak semua bantuannya. Sementara Diana mengatakan merekalah yang terlalu ikut campur urusan keluarganya. Dalam kondisi  seperti itulah pikiran Yudhistira limbung. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam dan terus diam yang akhirnya menjadi berkepanjangan dan tidak terkontrol di luar batas manusia normal. Satu sisi dia menyayangi keluarganya, sisi lain dia mencintai Diana, istrinya.
       Pasien lain yang ditangani Rara adalah Sania. Dialah orang pertama yang ditemui di klinik. Gadis kecil yang pernah mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD itu ditemukan pertama kali oleh dinas sosial di terminal dalam keadaan tubuh terluka. Karena tanpa keluarga yang menginformasi dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga sampai di klinik Bu Sausan. Sania tumbuh di tengah keluarga broken dan kerasnya hidup. Jauh dari rasa bahagia layaknya dialami anak-anak seusianya. Nenek suka menghadiahi sabetan rotan, ibu pemarah, gonta ganti pasangan, dan ayah seorang pemabuk. Tidak heran bila yang ada dalam benaknya kemudian kata marah dan benci. Ayahnya yang pernah mengajaknya keluar dari klinik ditentang keras. Dia bahkan nyaris bunuh diri dengan meminum obat pencuci pakaian. Beruntung maut urung menjemputnya setelah sempat dirawat di rumah sakit.
       Pak Tua atau Pak Bulan adalah pasien berikutnya. Dengan wajah tirus dan badan terlalu kurus dialah penghuni lembaga pemasyarakatan. Tidak banyak yang tahu kisah hidupnya. Karena kekurangn gizi, kasih sayang, dan  perhatian, membuat terbelakang mentalnya. Seringnya berada di malam hari dengan menatap bulan itulah, Rara memanggilnya Pak Bulan. Dia selalu mengatakan purnama walau bulan berbentuk sabit.    
       Kedekatan Rara dengan pasien-pasiennya tak urung menjadikan mereka dekat pula satu sama lain. Hingga suatu saat terjadi cinta segitiga antara, Yudhistira - Diana, istri Yudhistira, - Sania. Pak bulan ikut menyumbangkan serpihan bunga mawar, hasil kesukaannya berkebun. Ketegangan pun tercipta dan menyangka Rara berhalusinasi saat ditemukan serpihan kelopak bunga mawar bercampur darah di depan kantornya pada malam hari. Intinya, mereka tidak mau kehilangan orang-orang terkasih, termasuk kehilangan Rara yang sudah menjadi bagian dari mereka. Hal itulah yang membuat Rara tidak jadi mengundurkan diri walau awalnya Bu Sausan pernah menolak. Karena pada akhirnya beliau mengijinkan metode transpersonal kelak menjadi bagian dari pengelolaan klinik, bagian baru yang ditawarkan Rara.
         Membaca judulnya yang muncul adalah keterkaitan sebuah benda langit yang hadir pada malam hari. Namun bagaimana keterkaitan “bulan” karena ternyata Nararya adalah nama panjang Rara yang dalam novel ini menjadi tokoh sentral. Sebagaimana judul novel ini, Bulan Nararya. Biasanya nama panjang sekalian ditampilkan. Namun penulis berhasil membuat penasaran, bahkan sepanjang novel ini selesai. Sambil mengikuti cerita demi cerita pembaca mungkin mengira nama Bulan berkait dengan salah satu penghuni klinik dengan panggilan Pak Bulan. Setelah melalui serangkaian penantian panjang, kepenasaran tentang Bulan terjawab di akhir cerita. Tidak berhubungan dengan Pak Bulan, tapi dari pasien lain, Yudhistira.  Dari kesukaannya melukis, ia menghadiahi Rara sebuah lukisan bulan dengan di tengahnya tergambar wajahnya, maka menjadilah Bulan Nararya.
       Yang paling menegangkan ketika nyawa Rara nyaris terancam. Dalam budaya masyarakat bunga mawar dan darah identik dengan perlambang kematian. Darah berhubungan dengan pembunuhan, sedangkan kelopak-kelopak bunga mawar sebagai taburan setelah kematian. Suatu malam seorang diri Rara akan pulang, tiba-tiba di depan pintu ruangannya ditemukan serpihan kelopak-kelopak bunga mawar bercampur darah. Cerita pun dibangun penuh ketegangan. Rara mengalami kejadian serupa dua kali terjawab oleh peristiwa sederhana namun berhasil menyita perhatian. Sania, pasiennya yang baru menginjak remaja, mengalami menstruasi pertama dan belum bisa memakai pembalut, sisi lain dia suka bunga mawar. Dia tidak mau ditinggal Rara, orang terdekat sepanjang dia berada di klinik. Karena tidak bisa mengungkapkan, ia lampiaskan dengan berada di depan kantor Rara dalam keadaan apa adanya. Kejutan ini tidak diungkapkan secara eksplisit, namun melihat bukti-bukti kebiasaan Sania cukup sebagai jawaban.
       Kejutan lain ketika hubungan Angga, mantan suaminya, retak dengan istrinya. Sementara istrinya yang tidak lain mantan rekan kerjanya, Moza, sedang hamil. Keadaan yang tidak pernah dialami selama sepuluh tahun hidup berumah tangga bersama Angga. Angga kemudian memberikan perhatian tak ubahnya ketika mereka hidup bersama dulu. Bahkan nyata-nyata mengatakan kalau Rara lebih tahu banyak tentang dirinya dibanding Moza meski telah menjadi istrinya.
       Keretakan itu membuat mereka juga ingin berkonsultasi. Diluar dari hubungannya bermasalah, Rara sempat berpikir kalau Angga akan kembali kepadanya. Bahkan anak yang ada dalam kandungan Moza suatu saat akan diasuhnya. Moza masih muda dan tentu masih banyak pula lelaki yang menginginkannya. Siapa tahu ia tidak mau dibebani anak dan menyerahkan hak asuh bayinya kelak dipangkuan Angga. Bukankah kalau mereka kembali berdua Rara juga ikut mengasuh dan merasakan punya anak ? Sayang pembaca hanya diberi kesempatan berandai-andai. Karena novel ini selesai sebelum cerita dibahas lebih lanjut.
       Terlepas dari kejutan demi kejutan ditampilkan, terasa ada yang monoton. Dari lembar ke lembar halaman cerita yang ditampilkan selalu berkutat dengan masalah. Tidak ada cerita bahagia dibalik masalah-masalah. Misal cerita bulan madu ketika Angga dan Moza baru saja menjadi suami istri. Termasuk Bu Sausan atasannya juga ikut menyumbangkan kepedihan tak kalah rumit pada cerita masa lalunya.  Menangani klinik terapi yang berhubungan dengan gangguan jiwa tidaklah harus semua orang yang terlibat di dalamnya juga pernah terkena masalah berat. Kendati setiap orang pasti pernah mengalami masalah. Lebih bervariatif jika `orang dalam` berlatar belakang keluarga bahagia. Mereka ingin berbagi kebahagiaan karena ternyata tidak setiap orang beruntung seperti mereka.
       Diantara kelebihan dan kekurangan, hikmah yang paling penting bahwa permasalah apapun membutuhkan dukungan orang-orang terdekat atau keluarga, seberapapun orang bisa membayar mahal seorang profesional handal di bidangnya. Disamping itu, hidup adalah kenyataan. Maka menghadapinya jalan terbaik, bukan menghindarinya.
       Disamping novel yang memberikan hiburan dan isi yang sarat dengan makna kehidupan sehari-hari, pembaca pun disuguhi pemakaian bahasa tingkat tinggi namun tetap mudah dipahami. Penggunaan gaya bahasa dan diksi atau pilihan kata yag tepat membuat cerita ini memiliki nilai sastra.  Sebuah karya seni yang tidak saja punya manfaat hidup tetapi juga literer dan patut dikoleksi. Maka pantaslah kalau novel ini memenangkan salah satu penghargaan dalam penulisan novel bertaraf nasional.
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar