Iis Soekandar: Cerpen Dewasa

Selasa, 08 Maret 2016

Cerpen Dewasa


Panggung Telah Berakhir
oleh : Iis Soekandar

       Sore menjelang. Bunyi genderang beserta alat pengiring lain khas event besar terdengar sayup-sayup. Terasa membedakan dari peringatan hari-hari besar. Ada ruh yang menyertai peristiwa setahun sekali itu. Vio terhipnotis dan mempercepat gerak. Diraihnya tas kempit tali pendek persis bawah ketiak yang sudah disiapkan. Sengaja tidak dibawa tas punggung sebagaimana aktivitas di alam terbuka. Tas kempit lebih praktis dan aman dari gerayangan tangan-tangan jahil. Dirabanya sekali lagi untuk memastikan gawai 7 inchi yang baru dibelinya beberapa hari lalu tak tertinggal. Amunisi yang sengaja direncanakan jauh-jauh hari.
       Begitu keluar gang, orang-orang yang menuju ke arak-arakan mempercepat langkah. Vio semakin bersemangat. Sebagai warga yang berdomisili satu komplek dengan awal mula terjadi arak-arakan, ia tidak mau mendapatkan tempat sebagaimana masyarakat umum. Lantaran datang terlambat kemudian terpaksa di belakang sehingga tidak jelas mengikuti serangkaian prosesi. Seharusnyalah ia berbeda dari pengunjung lain. Karena ia termasuk warga yang memiliki. Walau tidak berpartisipasi dari segi materi atau tenaga sekalipun.
     Bukan tempat VIP sebab namanya tak berbau pejabat. Bukankah panggung yang sebenarnya adalah kehadirannya yang jelas melestarikan setidaknya bagi dirinya sendiri, dibanding pejabat yang penuh dengan protokoler ? Tampak luar mereka begitu menyambut, padahal hatinya kosong dari makna tahapan demi tahapan pelestarian budaya lokal. Kendati tanpa usaha panggung kesenian telah berada di depan mata mereka. Namun berada di barisan depan sehingga tak sedikit pun moment yang terlewatkan.
       Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di arena. Vio sengaja tidak masuk ke pelataran masjid. Sejak ia kecil tidak ada pemugaran berarti kecuali dicat sebagai penyegaran. Masjid beserta lingkungannya sengaja dilestarikan sebagai tempat cagar budaya. Hanya menuju pintu depan dipasang tenda sebagai tempat persiapan sebagaimana setiap peringatan hari besar agama. Apalagi pada waktunya tidak boleh seorang pun menginjak kecuali para pelakon yang bakal maramaikan panggung.
       Dari kejauhan masyarakat nampak sudah berjejal di depan masjid, tempat puncak prosesi berlangsung. Vio langsung menyusuri jalanan menuju ke sana diantara orang-orang yang sibuk mempercepat langkah. Untuk kesekian kali ia meraba tas kempit. Permukaan depan masih timbul seukuran gawainya.
       Melalui jeruji pagar masjid yang dilewati, tak disengaja pandangannya terasa lain sehingga membuat perhatiannya terpecah. Seseorang seperti yang ia kenal, terduduk di lantai serambi masjid. Vio tak percaya dan menoleh sekilas sekali lagi demi memastikan. Tidak salah dugaannya. Hatinya semakin menciut. Lagi-lagi dirabanya tas kempit antara lengan dan ketiaknya. Masih menonjol benda canggih 7 inchi. Lengannya merapat. 
       Pandangannya beralih. Kehadirannya sungguh mengacaukan pikirannya. Wajahnya terus membayang-bayangi. Segera mencari tempat dekat panggung,  tempat segala prosesi berlangsung. Posisinya menyiku, antara panggung dan jalanan tempat arak-arakan sedang berjalan. Kemeriahan serangkaian suara alat perkusi terus mengalun. Vio segera memvideo dalam kamera gawainya. Dari balik lubang kamera sempat juga terekam orang-orang terus berjejal berusaha mengambil tempat strategis. Tapi anak-anak tak terkalahkan. Mereka tetap berdiri paling depan dengan postur tubuhnya yang masih pendek. Atraksi laskar berkuda, drumband, gamelan, tidak kalah para penari tradisonal memamerkan kelebihannya masing-masing. 
       Diantara kesibukannya merekam, sesekali pikirannya menyelinap. Benda canggih yang sedang digenggamnya itu dibeli dari mendapat arisan kantor. Vio lebih suka membeli sesuatu karena kebutuhan. Bukan karena latah. Ponsel yang dipunya sebelumnya jadul, sekedar bisa buat menelepon dan sms. Jadi uang arisan yang tidak seberapa karena lebih bersifat kumpul-kumpul dibanding arisan pada umumnya, ia belikan gawai bersamaan dengan moment setahun sekali yang meski merasa memiliki namun sekalipun belum pernah mengabadikan prosesi dari awal hingga akhir.
       Vio seperti terlahir kembali. Masa kecil awal belajar menahan haus dan lapar sehari. Menjelang berbuka adalah saat yang ditunggu. Vio dan sejumlah anak di lingkungan sekitar menuggui meriam dibunyikan sebagai tanda berbuka puasa. Mereka duduk berjejer di lantai berundak menuju ke serambi. Begitu meriam mengeluarkan gemericik kembang api di angkasa lalu diiringi bunyi der, berlarianlah Vio dan anak-anak lain menuju ke rumah masing-masing. Minuman mengandung es selalu menjadi santapan pertama. Terbebas sudah ujian satu hari. Untuk kemudian dilanjutkan perjuangan hari berikutnya, begitu hingga berjumlah dua puluh sembilan atau tiga puluh hari.
       Mendadak lubang kameranya terhalang. Lelaki perlente, putih, perawakan macho, tinggi besar, sedang mamanggul tempat lempitan berbahan kayu untuk memajang. Satu kali Vio melihat dia menjajakan dagangannya. Selanjutnya selalu begitu, menjual barang yang sedang ngetren. Untuk kali ini berjualan akik yang ditaruh di tempat memajang cincin. Tidak lupa selalu mencari pusat-pusat keramaian demi melarisi.
       Bagaimana mungkin Vio lupa dengan panggung yang dia pertontonkan. Peran sebagai pedagang ia mainkan sangat elok. Suatu malam yang telah larut, Vio pulang berlibur dari rumah temannya. Ia melewati pasar malam namun pengunjung mulai sepi. Vio melihat ia menutup dagangannya. Tidak lama kemudian seorang wanita setengah baya dengan dandanan menor lengkap asesoris ala selebritis menggandengnya. Mereka tenggelam dalam kemesraan malam yang dingin. Begitu ia akan berganti wanita sesuai bayaran yang diterima. Sebuah permainan rapi dan hanya orang-orang tertentu yang mengetahui.
       Ketika Vio hampir mengalihkan kameranya, melintas seseorang yang tadi berada di serambi masjid. Sesaat ia kehilangan. Ia menelusup diantara kerumunan orang-orang yang juga selalu ingin tetap berada di depan. Vio berharap dia tidak menemukan kebaradaannya. Nyaris terlupa, hatinya bergejolak saat tak ditemukan permukaan menonjol dari tasnya padahal benda itu tergenggam di tangannya.  
       Masih dalam keramaian alat musik perkusi, pembawa acara dengan lantang mengumumkan Kanjeng Adipati segera tiba. Manyarakat semakin antusias. Suara gamelan semakin terdengar benderang. Para penabuh dengan pakaian beskap lengkap blangkon di kepala menabuh penuh penghayatan.
       Tidak lama penunggang kuda menyisir jalan, meminta masyarakat memberi jalan lebih lebar bagi sang pemimpin. Disusul pembawa bunga Manggar mengawal Kanjeng Adipati beserta istri. Kanjeng Adipati sebagai manefestasi terwakili oleh seseorang yang sedang memimpin, dalam hal ini walikota. Di belakang, tak tertinggal para pemimpin instansi pemerintah beserta pasangannya.
       Kanjeng Adipati berdiri di panggung sekaligus mengumumkan kepada masyarakat akan dimulainya puasa Romadhon. Tradisi dugderan sebagai tanda mengawalinya. Di sisi kanan panggung warak ngendhok sebagai ikon dugderan berukuran hingga menyamai tinggi panggung berdiri dengan gagah. Replika itu sekaligus simbol dari kota Semarang yang terbuka dengan keberagaman. Kepala seperti naga simbol dari etnik Cina, berkaki empat sebagai lambang kambing identik dengan orang Jawa, leher tegap sebagai simbol onta identik dengan orang Arab. Begitu cerita yang pernah Vio dengar dari guru SD-nya.  
       “Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi lebih jauh menghindari perbuatan mungkar maka diciptakanlah binatang warak.“ lalu Kanjeng Adipati mulai menjelaskan filosofi warak ngendog. “Jika selama bulan Romadhon bisa menjaga kesucian perbuatan, maka hadiahnya adalah endhog (telur). Maka digabunglah menjadi warak ngendhog.”
       Selesai Kanjeng Adipati memberikan wejangan, beliau turun dari panggung kemudian menuju ke palataran masjid. Saatnya dibunyikan bedug, dug, disusul bunyi meriam yang telah disiapkan, der. Begitulah asal mula tradisi dugderan.
      Prosesi terakhir adalah pembagian kue ganjeril. Dari asal kata ganjel dan rel, mengandung filosofi agar menjalani puasa Romadhon penuh keikhlasan tanpa ganjalan apapun. Kue berwarna coklat terbuat dari tepung gandum dengan toping wijen diiris persegi ukuran 3 kali 3 cm dimasukkan dalam plastik bening demi keamanannya dari polusi. Masyarakat berdesak-desakan maju ke panggung khawatir tidak kebagian meski suara dari mikrofon terus mengumandangkan supaya mereka tertib. Tersedia cukup banyak kue ganjeril untuk semua masyarakat kota Semarang.
       Vio berhasil meraihnya sebuah demi mendapat keberuntungan. Dia menyingkir, keluar dari kerumunan orang-orang yang membaur antara yang belum mendapatkan dengan yang kembali berharap entah untuk yang keberapa. Semua terus bersemangat ingin mendapatkan kue ganjeril.
       “Vio?” Sejenak raut mukanya sumringah begitu benar teman sekantornya. Hampir kue ganjeril Vio terjatuh.
       “Mbak, jadi Mbak juga mengikuti dugderan ?” Vio tak kalah pura-pura girang, nyaris terlupa, dia sedang punya hasrat menghindarinya.
       “Gadget baru ya. Duh yang barusan dapat arisan...” gasaknya selalu akrab.
       “Ponselku yang dulu hilang, kayaknya ketika aku berada di jalan.”
       “Lagi pula sudah jamannya androit. Kalau tidak bagaimana kamu bisa mengabadikan moment yang hanya terjadi setahun sekali ini. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini lalu siapa ?”
      Dia kemudian mengambi alih gawai Vio. Dia manggut-manggut, seolah untuk memastikan bahwa temannya tidak salah memilih gawai. Maklum, selama ini Vio lebih senang yang simpel dengan ponsel jadul, cukup untuk bertelepon dan sms. Namun pada akhirnya ia membutuhkan teknologi canggih itu. Dia tak perlu susah mencari CD rekaman peristiwa penting karena dicari pun belum tentu ada. Ia bisa mengabadikannya sendiri menurut selera.
       Setelah membuka gambar kotak menu, ia membuka setiap aplikasi yang tertera di sana yang sampai sejauh ini Vio belum paham betul, kecuali menggunakan kamera, dan tentu kegiatan yang selama ini amat vital diperlukan, sms serta telepon.
        Tak mungkin terlepas dari benaknya peran berani yang dilakonkan. Setiap orang membicarakannya. Bagaimana dia menggunakan uang kantor tanpa henti. Meminjam koperasi menjadi kegiatan rutin berdalih sebagai hak pegawai. Mungkin karena ibu-ibu sudah hafal dengan gelagatnya, mereka menjadi korban hanya satu kali. Namun bagi lelaki yang terbuai kecantikannya menjadi bulan-bulanannya. Soal pembayaran, ia memasrahkan begitu saja kepada bendahara. Kemudian orang-orang itu meminta uang yang menjadi haknya tanpa lagi meminta persetujuannya. Tak heran setiap bulan nyaris ia tak terima gaji kecuali hanya tersisa seidkit.
       Semua berdalih ewuh perkewuh karena dengan teman sendiri. Meski di balik semua itu mereka terus bergunjing, untuk apa dia selalu meminjam uang. Pakaiannya jelas terprogram dari kantor dari Senin hingga Jumat. Hari Sabtu pun pakaian bebasanya biasa saja. Bahkan terkesan membosankan. Asesoris tak pernah menyertai kecuali giwang bermata satu. Jauh dari kesan glamour.
       Kalau toh selama ini suaminya terdengar jarang pulang  ke rumah, setidaknya dengan gaji pribadi dia bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa meminjam sana sini. Anak juga dia belum memiliki.
       “Mentang-mentang habis dapat arisan.”
       Vio menanggapi dengan senyum. Dadanya semakin bergemuruh. Bagaimana kalau dia langsung mengungkapkan kebiasaan buruknya dengan mengeluarkan jurus-jurus omongannya yang berbisa. Berbisa karena selalu mematikan bagi siapapun lawannya. Tak segan ia akan menggadaikan gawai Vio jika dia menjawab uang arisan telah habis untuk membeli gawai itu sementara dia menginginkan. Padahal Vio harus mengurangi gajinya bulan depan supaya bisa membeli powerbank agar ketika dia bepergian jauh tidak kebingungan karena batery habis.
       Tiba-tiba ketika sejuta pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya, perhatian Vio terbelah oleh panggilan dari dalam sakunya. Ia pun menyerahkan gawai Vio. Sesaat kemudian, lagi-lagi kata-katanya membuatnya tercengang.
       “Lihat sms ini,” pintanya menyodorkan gawainya.
       Kata-kata yang tertera dari salah satu temannya yang mengurus koperasi. Dia bilang kalau semua THR, laba koperasi, dan SHU telah habis untuk melunasi hutangnya. Ada tersisa sedikit.
       “Uang yang tersisa sedikit itu untukmu membeli powerbank, biar tidak bingung kalau lagi keluar kota.”
       Vio memandang terheran. Dia seperti bisa menebak pikirannya. Pasti bendahara yang telah bercerita.
       “Aku sudah resign.”
       “Mbak...”
       “Anggap saja powerbank itu kenang-kenangan dariku.”
       Vio tercengang untuk kesekian kali atas keberanian yang ditunjukkan. Untuk kedua kali beraktivitas lagi gawainya. Tidak lama kemudian dia berpamitan. Pandangan Vio mengikuti langkahnya. Vio baru mengerti alasan sepak terjangnya selama ini ketika seorang pedagang akik yang dikenalnya menggandengnya mesra.
       Sementara petugas yang membagikan kue ganjeril selesai menunaikan kewajibannya. Mayarakat mulai sepi. Panggung telah berakhir.
@@@

Cerpen ini pernah saya ikut sertakan dalam lomba menulis cerpen Femina 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar